Kereta BANGUNKARTA: jomBANG – madiUN – jaKARTA

July 1, 2012 @

Entah, sudah berapa kali saya menggunakan kereta Bangunkarta. Silakan dihitung, jika setahun saya pulang empat kali, maka delapan kali saya menggunakan kereta Bangunkarta. Selama empat tahun kuliah, saya menggunakan kereta Bangunkarta hingga 30an kali. Ini belum termasuk jika saya pulang di luar urusan. Jika dihitung hingga tahun 2012, sudah puluhan kali saya naik Bangunkarta. Saya tidak tahu berapa persisnya.

Kereta Bangunkarta adalah kereta favorit untuk saya, dari Madiun ke Jakarta, begitu pula sebaliknya. Bangunkarta adalah kereta yang melintasi Jakarta – Cirebon – Pekalongan – Semarang – Solo – Madiun – Jombang. Coba tebak, bagaimana nama Bangunkarta disusun? BANGUNKARTA: jomBANG – madiUN – jaKARTA. Yup, sebuah singkatan yang enak untuk diucapkan. Sesuai jadwal, tiap hari selalu ada kereta Bangunkarta yang berangkat dari stasiun Jombang. Satu kereta lagi berangkat dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta.

Dan sore ini, saya memilih naik Bangunkarta. Sore ini kereta tidak terlalu ramai ketika berangkat dari Madiun. Saya duduk di gerbong 7, nomer 10A (pinggir jendela). Tiap naik kereta, saya selalu memilih di pinggir jendela. Selain lebih nyaman untuk tidur, duduk di pinggir jendela memungkinkan saya untuk menguasai jalur listrik. Maksudnya? Di kereta Bangunkarta tersedia colokan listrik di tiap baris tempat duduk. Colokan listrik ini menempel di bawah jendela. Hanya ada satu colokan listrik untuk dua kursi. Duduk di pinggir jendela memudahkan saya untuk “memonopoli” jalur listrik. Maklum, smartphone saya terkenal boros energi. Otomatis saya butuh listrik jika batere smartphone habis.

Sejak pertamakali kuliah di Universitas Indonesia, kereta Bangunkarta jadi pilihan karena harganya terjangkau untuk kantong mahasiswa. Tahun 2003, ketika pertamakali saya ke Jakarta, kereta Bangunkarta dibagi dua kelas, yaitu Bisnis dan Eksekutif. Harga tiket adalah Rp 80.000 untuk kelas Bisnis dan Rp 120.000 untuk kelas Eksekutif (atau Rp 125.000, entahlah, saya lupa berapa harga tepatnya).

Bangunkarta biasanya terdiri 6 hingga 8 gerbong pada hari normal. Ketika peak seasons, seperti lebaran idul fitri atau liburan, biasanya gerbong ditambah hingga menjadi 10 gerbong.

Kelas Bisnis selalu lebih banyak daripada kelas Eksekutif. Biasanya hanya ada dua gerbong kelas Eksekutif dan selalu berada di paling belakang (jika kereta berangkat dari Jombang ke Jakarta). Jika kereta berangkat dari Jakarta ke Jombang, maka kelas Eksekutif berada di paling depan. Apa yang membedakan kelas Bisnis dan kelas Eksekutif? Penumpang bisa merasakan fasilitas AC di kelas Eksekutif, namun tidak untuk kelas Bisnis. Penumpang mendapatkan makan malam di kelas Eksekutif, namun tidak untuk kelas Bisnis. Terus terang makanan yang diberikan tidak enak untuk lidah saya jika saya boleh berikan penilaian. No Smoking area untuk kelas Eksekutif, namun tidak berlaku untuk kelas Bisnis. Kelas Eksekutif relatif lebih bersih daripada kelas Bisnis. Penumpang mendapatkan bantal dan selimut untuk kelas Eksekutif, namun tidak berlaku untuk kelas Bisnis. Sebenarnya semua fasilitas bisa dipesan juga untuk penumpang kelas Bisnis, seperti selimut, bantal, dan makanan. Tentu saja dengan membayar sejumlah tarif tertentu.

Untuk yang butuh sedikit kenyamanan, kelas Eksekutif bisa dipilih. Namun untuk mahasiswa, saya lebih sering pilih kelas Bisnis. Tentu saja dengan alasan klasik: duit di dompet yang lebih terbatas :). Maklum, untuk seorang mahasiswa, perbedaan harga sangat berpengaruh untuk mengambil keputusan. Affordability seorang mahasiswa berbeda dengan seorang karyawan, misalnya seperti itu.

Entah, sudah berapa kali saya menggunakan kereta Bangunkarta. Silakan dihitung, jika setahun saya pulang empat kali, maka delapan kali saya menggunakan kereta Bangunkarta. Selama empat tahun kuliah, saya menggunakan kereta Bangunkarta hingga 30an kali. Ini belum termasuk jika saya pulang di luar urusan. Jika dihitung hingga tahun 2012, sudah puluhan kali saya naik Bangunkarta. Saya tidak tahu berapa persisnya.

Kadang-kadang saya tidak selalu menggunakan kereta Bangunkarta. Pernah suatu ketika saya memilih naik kereta ekonomi dari Jakarta ke Madiun. Kelebihan kereta ekonomi adalah semua fasilitas tidak berfungsi :). Misalnya, toilet digunakan sebagai tempat barang, bahkan tempat tidur penumpang. Pernah juga saya terjepit berdiri di bordes dari Jakarta hingga Cirebon karena kereta sangat penuh.

Kembali ke Bangunkarta. Karena sudah puluhan kali naik Bangunkarta, saya hafal dengan petugas-petugas Bangunkarta. Begitu Bangunkarta berangkat dari Madiun, seorang petugas akan menawarkan bantal kepada penumpang. Seingat saya harganya Rp 2.000. Seorang petugas akan menawarkan makanan dan minuman. Mie goreng dan mie rebus adalah makanan paling laris. Teh dan kopi adalah minuman paling laris. Begitu Bangunkarta masuk daerah Cirebon, seorang petugas menawarkan beberapa oleh-oleh, seperti brem dan wingko babat. Satu ciri khas adalah merk “kereta api” dibungkus oleh-oleh itu. Namun membeli oleh-oleh di kereta api adalah pilihan bodoh yang seharusnya tidak dilakukan. Apakah logis membeli oleh-oleh khas daerah di kereta? Tentu lebih baik beli sebelum naik kereta dengan pilihan dan harga yang lebih bagus.

Kereta Bangunkarta berangkat dari Madiun jam 16.55 dan tiba di Jakarta sekitar jam 6 pagi – 7 pagi. Tidak ada waktu tepat kapan Bangunkarta tiba di Jakarta, karena terlalu banyak faktor berpengaruh dalam transportasi kereta api. Pernah suatu ketika, Bangunkarta baru masuk Jakarta jam 1 siang ! Sebuah keajaiban, pernah pula Bangunkarta masuk Jakarta jam 4 pagi ! Bahkan masuk ke Jakarta sebelum shalat subuh ! Sebuah kejadian dengan probabilitas kurang dari satu persen.

Lambat laun, jam keberangkatan Bangunkarta mulai bergeser. Tidak lagi jam 16.55 dari Madiun, namun bergeser ke jam 17.10. Pernah pula bergeser ke jam 17.30. Dan hari ini bergeser ke jam 18.15, walaupun terlambat 15 menit sehingga kereta baru berangkat jam 18.30.

Hari ini Bangunkarta sudah berubah, tidak sama dengan Bangunkarta masa lalu.

Terhitung sejak 5 Desember 2009, gerbong Bangunkarta beralih fungsi menjadi kereta Senja Kediri (Malang – Jakarta). Kereta Bangunkarta hari ini menggunakan gerbong kereta Gajayana. Gajayana adalah kereta kelas Eksekutif jurusan Malang – Jakarta.

Tak ada kelas Bisnis untuk Bangunkarta hari ini. Seluruh gerbong Bangunkarta hari ini adalah kelas Eksekutif. Petugas-petugas yang dulu melayani penumpang Bangunkarta juga berganti. Tak ada lagi bapak petugas yang aktif menawarkan bantal. Yang paling saya ingat adalah suara khas “bantal…bantal…” dengan peci warna hitam. Tak ada lagi petugas yang gesit membawakan mie goreng dan mie rebus tanpa alas kaki (nyeker). Singkat cerita, bapak petugas ini lebih memilih nyeker dengan alasan lebih gesit berlalu lalang. Apalagi harus melewati penumpang yang memilih duduk dan tidur di lantai kereta beralaskan koran. Dulu masih memungkinkan kereta api membawa penumpang tanpa kursi kereta. Tiket tanpa kursi ini adalah istilah khusus tiket yang dijual di hari-H. Penumpang membayar dengan harga sama dengan harga tiket berkursi. Tiket tanpa kursi dijual jika penumpang membludak sebagai bentuk kepedulian PT. KAI. Konyol memang karena penumpang harus membayar harga yang sama untuk fasilitas berbeda. Efek lain adalah penumpang membludak di dalam kereta dan mengurangi kenyamanan.

Sebagai kelas Eksekutif, harga tiket melonjak drastis menjadi Rp 300an ribu. Sore ini, harga tiket adalah Rp 320.000. Sangat jauh dengan tiket kelas Eksekutif Bangunkarta ketika saya masih mahasiswa.

Dan hari ini saya merindukan suasana seperti masa lalu, Bangunkarta masa lalu dengan ciri khasnya. Hari ini, Bangunkarta masa lalu sudah menjadi kereta Senja Kediri. Tentu suasana Bangunkarta masa lalu tak akan terulang lagi. Mungkin suasana itu terbangun dalam kereta Senja Kediri.

Satu hal yang pasti, kereta Bangunkarta punya peran besar bagi saya. Jika boleh punya member card, saya bersedia menjadi Bangunkarta Member Card.

-Perjalanan dari Madiun ke Jakarta, 1 Juli 2012 tanpa final Euro 2012-

Comments are closed.

© 2024 ARIP MUTTAQIEN.