Teman lama ini bernama Zacky, teman satu kampus. Kami sama-sama angkatan 2003, pernah tinggal di asrama UI dan sempat tinggal satu kos yang sama selama dua tahun.
Saya ingat, terakhir bertemu dengan teman lama ini adalah pertengahan 2010 di Depok. Berarti sudah empat tahun lebih. Tidak terasa memang waktu berjalan cepat dengan segala rutinitas. Saya sibuk dengan segala pekerjaan di Jakarta dan melanjutkan studi di Belanda. Zacky berangkat ke Australia untuk studi, lalu sempat mampir ke Kairo dan Istanbul.
Tahu-tahu kami bertemu lagi di perbatasan dua benua: Eropa dan Asia. Lumayan, ada teman seperjalanan di Turki yang fasih berbahasa Turki, membuat perjalanan jadi lebih lancar. Ini ibarat saya wisata dengan fasilitas guide.
Istanbul lebih dingin dari Belanda. Benar seperti yang dibilang salah satu teman sekelas. Walaupun Turki berada lebih dekat ke equator, Turki lebih dingin daripada Belanda yang notabene-nya berada lebih jauh dari equator. Perkiraan cuaca esok hari akan turun salju di Istanbul. Salju menjelang pergantian tahun, pastilah membuat suasana tahun baru jadi lebih dingin.
Kami menginap di rumah orang Turki. Rumah itu berada di Gaziosmanpaşa, agak jauh dari Taksim. Kami harus naik bus sekitar dua puluh menit. Pemilik rumah memang menyewakan rumah untuk orang yang berlibur di Istanbul. Dengan fasilitas bersih dan tidak banyak penghuni, harga yang ditawarkan lebih murah daripada jika kami harus menginap di hotel. Memang tetap lebih mahal daripada hostel. Namun menginap di hostel untuk jangka waktu terlalu lama membuat suasana kurang nyaman, terutama privacy.
Masuk ke dalam rumah, suasana terasa lebih hangat. Ternyata pemanas ruangan sudah dinyalakan. Di luar memang dingin ditambah angin kencang. Selain kami dari Indonesia, ada satu pasangan dari Serbia menginap di rumah ini. Jadi ada empat orang menginap di rumah ini. Kami berlima, satu tuan rumah dan empat orang tamu, banyak berbincang tentang hal-hal ringan, mula topik tentang pekerjaan, Indonesia, Balkan, Turki, bunga tulip, hingga agama. Laki-laki Serbia itu berumur sekitar akhir 40an, sedangkan yang wanita sekitar 30an awal. Mereka menyetir sendiri mobil menjelajahi Balkan hingga menembus Turki.
Esoknya, 30 Desember 2014, ketika bangun pagi, terasa lebih dingin. Begitu membuka jendela, ternyata hujan salju. Saya coba cek weather forecast, suhu udara sudah minus 5. Wah, wah, salju turun di Istanbul menjelang tahun baru. Dengan kondisi seperti ini, perjalanan harus lebih hati-hati, karena udara dingin dan jalan agak licin.
Alhamdulillah, pemilik penginapan meminjamkan Istanbul Card. Kartu ini sangat berguna untuk naik bus. Jauh lebih murah dan praktis. Sistem transportasi bus di Istanbul tidak memungkinkan penumpang membeli tiket diatas bus. Jadi mau tidak mau, penumpang harus punya Istanbul Card. Atau calon penumpang bisa meminta penumpang lain didalam bus untuk men-tapping Istanbul Card kedua kali. Kemudian calon penumpang membayar kepada penumpang yang punya Istanbul Card tersebut.
Rencana awal adalah empat hari di Istanbul, meliputi Ayasofya, Topkapi, Yerebatan, Sultanahmet, Taksim, Besiktas, Eyyup, Bogaztur, Yeni cami, Sulemaniye, Fatih, Katibim. Saya menikmati perjalanan di Istanbul yang menawarkan kemegahan bangunan dengan nuansa berbeda. Corak bangunan dan budaya berbeda dibandingkan corak dan budaya Eropa pada umumnya. Yang pasti luar biasa.
Peninggalan Ottoman memang luar biasa. Nampaknya mereka ingin menunjukkan kemegahan untuk anak cucu bahwa dulu mereka adalah bangsa hebat. Bangsa hebat yang mampu merebut kota ini dan bahkan sempat melebarkan pengaruh ke Balkan dan Eropa Daratan. Namun sejarah berubah setelah perang dunia pertama (lebih tepat juga disebut dengan perang Eropa). Turki bergabung dengan Jerman, Austria-Hongaria, dan Bulgaria, walaupun akhirnya menderita kekalahan. Kekalahan ini menyebabkan Ottoman kehilangan banyak wilayah di Timur Tengah hingga Balkan. Bisa dibayangkan, sebuah kerajaan yang besar tiba-tiba harus kalah dan mulai dari nol untuk membangun negaranya.
Banyak peninggalan yang bisa dilihat di Istanbul, seperti mesjid, bekas gereja, istana, dan museum. Ketika kaki melangkah ke dalam, rasanya seperti kembali ke masa lalu. Membayangkan suasana pertempuran ratusan tahun lalu, berebut wilayah kerajaan, kadang dilakukan atas nama kedigdayaan agama dengan konsep penaklukan.
Kemegahan terlihat dari arsitektur bangunan, citarasa masakan, dan mentalitas bangsa. Soal makanan, makanan Turki jauh lebih enak daripada makanan di Belanda, lebih berasa dan banyak pilihan, hehehe. Makanan di Belanda terasa hambar, kalah jauh dengan makanan Turki yang lebih beraroma.
Disini makanan didominasi daging. Konsumsi daging sangat tinggi di Turki. Saya sempat berpikir, tentunya orang Turki sudah tidak perlu lagi membagikan daging kambing di Turki ketika idul adha. Toh mereka tiap hari sudah sering makan daging. Ini seperti di Eropa, dimana konsumsi daging per kapita sudah tinggi. Ketika idul adha, banyak ummat Muslim menyalurkan kurban ke negara lain yang masih memiliki tingkat konsumsi daging yang rendah, seperti Afrika.
Harga makanan juga tidak terlalu mahal untuk kantong penerima beasiswa di Eropa. Maklum, karena living cost di Turki lebih murah daripada di Eropa. Alhamdulillah.
Di Turki tidak banyak orang bisa berbicara bahasa Inggris. Entah karena kebanggaan terhadap bahasa yang tinggi, atau sikap isolatif, membuat agak sulit menemui orang yang bisa berbahasa Inggris di Turki. Kadang hal ini membuat turis lebih repot. Memang ada positifnya saya liburan bersama dengan teman yang pernah tinggal di Turki, sehingga tidak terkendala masalah bahasa. Sudah ada penterjemah yang membantu. Apapun urusan, dari bertanya jalan, pesan makanan, hingga menawar harga souvenir, semua jadi terasa lebih mudah.
Khusus urusan souvenir, harga barang bisa ditawar. Apalagi jika menawar dengan bahasa Turki dan bilang bahwa kami dari Indonesia. Dari kesan yang saya tangkap, mereka akan senang jika ada orang asing yang bisa bicara bahasa Turki. Ketika tahu dari Indonesia dan muslim, negosiasi harga jadi lebih mudah. Bonus.
Dua dari empat hari itu adalah perjalanan ke Bursa dan Edirne. Perjalanan ke Bursa direncanakan 31 Desember 2014 dengan kapal. Namun sebuah email yang dikirim pada 31 Desember 2014 memberitahukan bahwa perjalanan kapal ke Bursa dibatalkan karena cuaca yang tidak memungkinkan. Sedianya, kapal ini melewati selat Bosporus, dengan perjalanan sekitar sejam. Bursa pernah menjadi ibukota Utsmaniyah dari 1326 – 1365.
Karena perjalanan ke Bursa dibatalkan, maka kami memilih menyusuri sudut lain Istanbul di hari terakhir 2014. Salju yang turun sehari sebelumnya sudah berubah menjadi es licin. Masih ada salju turun, walaupun tidak seberapa lebat dibanding sehari sebelumnya.
Rencananya, kami ke Edirne pada 2 Januari 2015. Untuk efektifitas waktu, akhirnya kami pilih membatalkan perjalanan ke Edirne dan lebih memilih perjalanan ke Bursa pada 2 Januari 2015. Edirne memang sayang untuk dilewatkan. Namun apa dikata, hidup harus memilih. Edirne terletak diperbatasan Turki, Yunani, dan Bulgaria. Kota ini sempat jadi ibukota Ottoman dari 1363-1453. Sayangnya Turki dan Bulgaria tidak masuk Schengen visa, sehingga tidak bisa menerobos tiga negara. Bayangkan jika tiga negara ini masuk Schengen visa, tentu nasibnya sama seperti Drielandenpunt di perbatasan Belanda, Belgia, dan Jerman.
Hari terakhir 2014, cuaca tidak bersahabat. Dingin. Suhu mencapai minus 10. Angin kencang membuat perjalanan terasa berat. Pantas saja tangan terasa menggigil. Sepertinya memang kami harus kembali ke penginapan. Tidak memungkinkan untuk bertahan di pergantian tahun ditengah cuaca dingin. Oke, akhirnya kami memilih pulang ke penginapan. Kembali menyusuri Istanbul dengan bus, berharap segera sampai ke penginapan untuk menghindari cuaca dingin.
(bersambung)
Adlil Umarat
9 years ago
Perjalanan yang menyenangkan. Jangan lupa kalau dingin, minum obat..
yana
9 years ago
Halo Mas Arip, nemu ada rumah warga istanbul yang jadi guest house itu dimana ya? saya juga renaca long stay di istanbul, kalau masih ada kontaknya boleh di-share ga mas
admin
8 years ago
aku waktu itu pakai Airbnb