Harian Kompas, Rabu, 20 Juni 2012 menulis headline berjudul “Posisi Indonesia Memburuk: Urutan 63 Indeks Negara Gagal”. Failed Stated Index (Index Negara Gagal) adalah ranking dari 178 negara didunia. Makin rendah ranking menunjukkan negara itu adalah negara gagal. Makin tinggi ranking menunjukkan makin tinggi stabilitas negara tersebut.
Failed States Index dipublikasikan oleh The Fund for Peace (FFP), lembaga yang berpusat di Washington DC adalah sebuah lembaga independen, non partisan, non profit, dan lembaga edukasi yang bekerja dalam bidang pencegahan kekerasan dan konflik serta mempromosikan sustainable security. FFP memiliki aktivitas dalam bidang riset, training,pendidikan, penguatan civil society, dan memberikan solusi kebijakan publik.
FFP menggunakan 12 indikator yang dikelompokkan dalam dua kategori utama: social and economic indicators dan political and military indicators, masing-masing terdiri dari 6 indikator. Social and economic indicators terdiri dari 6 indikator, yaitu:
Kategori lain adalah political and military indicators, terdiri dari 6 indikator utama, yaitu:
Bagaimana menentukan FSI? FFP menggunakan Conflict Assessment Software Tool (CAST), dengan metodologi ilmu sosial komprehensif, data diambil dari berbagai sumber dan menjadi input untuk nilai FSI. Tiap negara mendapat penilaian dari 12 indikator. Tiap indikator dibagi menjadi rata-rata 14 sub-indikator. Masing-masing indikator diberi nilai 1 (baik) hingga 10 (buruk). Skor bernilai 1 menunjukkan negara itu adalah negara sukses dengan kinerja terbaik. Skor bernilai 10 berarti negara itu berisiko tinggi untuk gagal.
Sebagai contoh, untuk indikator pelayanan publik, Somalia mendapatkan skor 8, artinya Somalia tidak bisa memberikan pelayanan yang bagus dan cenderung sangat bermasalah dalam bidang kesehatan, pendidikan, serta bidang lain. Bandingkan dengan Swedia yang mendapat skor 1 atau 2 untuk indikator yang sama, artinya Swedia mampu memberi pelayanan publik terbaik bagi warga negara.
Seluruh indikator diagregatkan dalam satu indeks, yang disebut Failed States Index. Seluruh indikator mendapat bobot yang sama. Indeks ini bernilai antara 12 hingga 120. Indeks terbaik adalah 12 atau negara dengan kinerja terbaik. Indeks terburuk adalah 120 atau negara gagal (failed state). Dari 178 negara, Somalia mendapat indeks terburuk, yaitu 114,9 atau ranking 1. Bandingkan dengan Finlandia yang mendapat indeks terbaik, yaitu 20 atau ranking 178.
Fakta Menarik
Beberapa fakta menarik tentang FSI adalah 10 negara dengan kinerja peningkatan skor terbaik dan 10 negara dengan kinerja penurunan skor terburuk. Kyrgyztan mendapat skor 87,4 tahun 2012, berubah 4,4 poin dari tahun 2011 (91,8 poin). 10 negara dengan prestasi perubahan poin positif adalah Kyrgyztan, Cuba, Haiti, Bosnis & Herzegovina, Czech Republic, Dominican Republic, Chad, Bulgaria, Bhutan, dan Colombia.
Libya mendapat skor 84,9 pada tahun 2012, berubah 16,2 poin dari tahun 2011 (68,7 poin). 10 negara dengan perubahan skor terburuk adalah Libya, Japan, Syria, Yemen, Tunisia, Egypt Norway, Bahrain, Congo D.R., dan Greece. Cukup wajar jika Libya adalah negara dengan perubahan skor terburuk mengingat revolusi Libya telah membawa perubahan signifikan, dengan turunnya Khadaffi dan banyak rakyat meninggal. Tabel dibawah ini bisa menjelaskan daftar 10 negara dengan performance terbaik dan terburuk jika dilihat dari skor, dari tahun 2011 ke tahun 2012.
Sumber: Failed Stated Index 2012, hal 14
Sumber: Failed States Index 2012, hal 14
Cuba adalah negara yang mengalami perubahan ranking paling baik, dari ranking 86 sebagai negara gagal (2011) menjadi ranking 101 sebagai negara gagal (2012). 10 negara dengan perubahan ranking terbaik adalah Cuba, Dominican Republic, Kyrgyztan, Bosnia & Herzegovina, Bhutan, Vietnam, Israel/West Bank, Colomba, Moldova, dan Tajikistan.
Libya adalah negara yang mengalami perubahan ranking terburuk, dari ranking 111 sebagai negara gagal (2011) menjadi ranking 50 sebagai negara gagal (2012). 10 negara dengan perubahan ranking terburuk adalah Libya, Syria, Egypt, Senegal, Tunisia, Japan, Zambia, Turkey, Serbia, dan Djibouti. Tabel dibawah ini bisa menjelaskan daftar 10 negara dengan performance terbaik dan terburuk jika dilihat dari ranking, dari tahun 2011 ke tahun 2012.
Sumber: Failed States Index 2012, hal 15
Sumber: Failed States Index 2012, hal 15
Seluruh negara dibagi dalam beberapa kategori:
Sebagai catatan, South Sudan tidak dimasukkan dalam perhitungan ranking, sehingga jumlah negara adalah 177 yang mendapat ranking. Namun South Sudan sudah mendapatkan skor FSI sehingga keseluruhan ada 178 negara yang mendapat skor FSI. South Sudan baru saja berpisah dengan Sudan.
Indonesia dalam Failed Stated Index
Indonesia berada pada ranking 63 dengan skor 80,6. Nilai skor pada masing-masing indikator adalah:
Rata-rata skor adalah 6,7 untuk seluruh indikator. Skor terbaik adalah indikator poverty and economic decline (6,0). Skor terburuk adalah demographic pressures (7,4).
Bagaimana perbandingan ranking Indonesia dengan negara tetangga? Perbandingan ranking Indonesia dengan negara ASEAN dan beberapa negara luar ASEAN adalah:
FSI pertama dirilis tahun 2005. Bagaimana perbandingan antara tahun 2005 dengan tahun 2012? Tabel dibawah ini bisa memberikan gambaran tentang perbandingan ranking dan skor Indonesia dari tahun ke tahun.
TAHUN | SCORE | RANKING | JUMLAH NEGARA |
---|---|---|---|
2005 | 87.0 | 47 | 76 |
2006 | 89.2 | 32 | 146 |
2007 | 84.4 | 55 | 177 |
2008 | 83.3 | 60 | 177 |
2009 | 84.1 | 62 | 177 |
2010 | 83.1 | 61 | 177 |
2011 | 81.6 | 64 | 177 |
2012 | 80.6 | 63 | 178 |
Sumber: Failed States Index
Melihat data diatas, Indonesia telah mengalami peningkatan menjadi lebih baik dari sudut pandang skor. Tahun 2005, skor Indonesia adalah 87, atau berada pada ranking ke-47 dari 76 negara. Tahun 2006, skor menjadi lebih buruk, yaitu 89,2 dan ranking 32 dari 146 negara. Tahun 2006 jelas lebih buruk daripada tahun 2005. Tahun 2007, skor Indonesia menunjukkan perbaikan drastis menjadi 84,4 dan ranking 55. Tahun 2008, skor Indonesia berubah menjadi 83,3 dan ranking 60. Tahun 2009, skor Indonesia berubah menjadi 84,1 dan ranking 62. Tahun 2010, skor Indonesia menjadi lebih baik, yaitu 83,1 dan ranking 61. Tahun 2011, skor Indonesia mengalami perbaikan menjadi 81,6 dan ranking 64. Tahun 2012, skor Indonesia membaik, yaitu 80,6 dan ranking 63.
Selama delapan tahun publikasi ini, posisi Indonesia dua kali menjadi lebih buruk dari sudut pandang skor, yaitu dari tahun 2005 ke 2006 dan 2008 ke 2009. Dari sudut pandang ranking, posisi Indonesia tidak berubah sejak tahun 2008 hingga 2012, yaitu pada posisi ranking 60an. Dibandingkan dengan tahun 2005, jelas tahun 2012 Indonesia mengalami perbaikan sebesar 6,4 poin. Sedangkan posisi ranking relatif tidak berubah drastis sejak tahun 2008 karena hanya naik atau turun satu hingga tiga ranking, jadi tidaklah terlalu signifikan.
Kompas tidak membahas perubahan skor dan ranking. Kompas hanya membandingkan skor tahun 2012 antara Indonesia dengan beberapa negara tetangga, seperti India (ranking 78), Thailand (ranking 84), Malaysia (ranking 110), Singapura (ranking 157). Padahal jika Kompas mau menganalisis perubahan skor ini, tentu akan lebih menambah bobot analisis. Ada insight berbeda ketika menganalisis perubahan skor dari tahun ke tahun.
Membuat sebuah index butuh metodologi khusus. Failed states index ini adalah agregasi dari 12 indikator, yang dibagi dalam dua kategori besar, yaitu social and economic indicators dan political and military indicators. Seluruh indikator mendapat bobot sama besar. Terus terang saya masih mempertanyakan mengapa seluruh indikator mendapat bobot yang sama? Tidak make sense jika seluruh indikator mendapat bobot yang sama. Pasti ada indikator yang berfungsi seperti root cause. Implikasi dari root cause, indikator ini berpengaruh ke indikator lain.
Apakah masuk akal ketika indikator refugees and IDPs mendapat bobot yang sama dengan external intervention? Apakah ada logika masuk akal yang menjelaskan hal ini? Bagaimana jika dikombinasikan dengan faktor regional? Kondisi di Sub Saharan Africa berbeda dengan kondisi di Eropa. Apakah make sense jika bobot untuk refugees and IDPs di negara-negara Sub Saharan Africa diberikan bobot yang sama? Bandingkan dengan bobot untuk refugees and IDPs di negara Amerika Utara tidak ada perang.
Sebagai perbandingan, metode Word Economic Forum (WEF) dalam menghitung competitiveness report lebih masuk akal.
WEF membagi tiga indikator utama penentu competitiveness, yaitu basic requirement, efficiency enhancers, dan innovation and sophistication factors. Laporan lengkap bisa dilihat disini. Basic requirements terdiri dari institutions, infrastructure, macroeconomic environment, dan health and primary education. Efficiency enhancers terdiri dari higher education and training, goods market efficiency, labor market efficiency, financial market development, technological readiness, dan market size. Innovation and sophistication factors terdiri dari business sophistication dan innovation.
Pada prinsipnya, basic requirements adalah kunci untuk negara-negara factor-driven economies. Efficiency enhancers adalah kunci untuk negara-negara efficiency driven, atau tahapan setelah factor-driven economies. Tahapan selanjutnya adalah innovation-driven yang dipengaruhi oleh innovation and sophistication factors.
Untuk menghitung competitiveness sebuah bangsa, WEF membagi seluruh negara dalam lima kategori, yaitu:
Untuk tiap kategori, diberikan bobot berbeda untuk tiap indikator. Misalnya, bobot untuk innovation and sophistication factors untuk negara dalam kategori Stage 3 tentu lebih besar daripada negara dalam kategori Stage 1. Berikut ini penjelasan lengkap dalam tabel:
INDIKATOR | STAGE 1 | TRANSITION STAGE 1 – STAGE 2 | STAGE 2 | TRANSITION STAGE 2 – STAGE 3 | STAGE 3 |
---|---|---|---|---|---|
Basic Requirements | 60 % | 40 % – 60 % | 40 % | 20 % – 40 % | 20 % |
Efficiency Enhancers | 35 % | 35 % – 50 % | 50 % | 50 % | 50 % |
Innovation and Sophistication Factors | 5 % | 5 % – 10 % | 10 % | 10 % – 30 % | 30 % |
Sumber: World Competitiveness Report 2011-2012, hal 9 – 10
Contoh model di atas adalah sebuah perhitungan menarik karena memberikan kategorisasi. Menurut saya, pemberian bobot berbeda lebih masuk akal daripada menyamakan bobot, karena fakta menunjukkan banyak perbedaan antara negara dan kawasan. Dan perbedaan ini tidak bisa dihilangkan begitu saja dalam kuantifikasi indeks, seperti yang dilakukan dalam perhitungan Failed States Index.
Untuk saya, jelas lebih menarik menganalisis perubahan masing-masing indikator daripada melihat agregat indeks. Melihat perubahan indikator memang lebih rumit, namun bisa memberikan gambaran jelas. Analisis ini dapat dilihat pada tulisan berikutnya.
rosi
12 years ago
Tulisan menarik, mesti donlot neh
Menyoal Indonesia dalam Failed Stated Index
12 years ago
[…] tulisan sebelumnya, dari sudut pandang skor, Indonesia sebenarnya mengalami perbaikan skor. Dalam akhir tulisan sebelumnya, saya cenderung mengkritik metodologi pemberian bobot yang sama untuk 12 […]